Thursday 26 July 2012

Darah dan Lingkunganku


Ubay dengan Sakeranya

Darah dan Lingkunganku
Oleh UBAY KPI

Beberapa kali, saya sempat heran pada orang yang baru saya kenal. Herannya bukan orang itu kadang terlalu takdzim, bukan pula karena mereka sedikit segan. Tapi ada beberapa rekan dan orang baru saya kenal mengira saya orang Jawa. Yah, bisa jadi sebab saya memang keturunan dari pulau Jawa. Tapi mereka menganggap saya Jawa tulen. Mungkin karena mungkin saat bercakap logat saya agak kejawaan. Padahal kalau dilihat dari wajah saja mungkin orang akan bisa menebak.
Bahkan ada pula yang mengira saya orang Melayu Ketapang. Sebuah kabupaten di Kalimantan Barat yang memang banyak dihuni orang Melayu. Itu perkiraan orang yang hanya kenal via telepon. Mungkin karena nama saya yang agak mirip Uray. Biasanya di Kalbar, orang yang namanya Uray adalah asal Ketapang. (untuk mengenai nama, anda bisa membaca pada postingan khusus, silahkan cari saja di blog ini)
Padahal, dan padahal. Saya keturunan orang Madura asli. Meski kedua orang tua saya kelahiran di Pontianak. Bapak saya dari kampung Pirem, salah satu kampung di Kabupaten Sampang. Kalau tidak salah dekat dengan pasar Tamblengan. Begitu juga ibu saya, juga asli Madura. Keturunan tanah Lar-Lar, sebuah kampung yang tak jauh dari desa bapak. Aneh, aneh.
Logat saya berbicara memang kadang bisa dipoles. Ketika saya bicara di forum resmi memang logat saya memang kadang hilang Maduranya. Sebab lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia. Begitu juga saat komunikasi dengan kawan-kawan di Jawa, kadang logat saya ke-Jawa-an. Tapi kalau ngomong lepas bersenda gurau. Itu pasti logat Maduranya pasti kentara.
Tanpa memungkiri dan mengelak sedikit pun, saya tetap bangga menjadi keturunan Madura. Karena itulah darah keturunanku. Saking bangganya dengan Madura, saya sejak kecil berniat harus menjejakkan kaki di tanah Madura. Dan Alhamdulillah itu terwujud di tahun 2011 lalu.
Ubay KPI bersama Rosalinda saat menjadi pembaca nominator
Borneo Tribune Award 2010 di Hotel Mercure Pontianak
Nah yang bikin saya heran lagi adalah ketika saya bicara menggunakan bahasa Madura yang halus “parbesan”. Itu saya lakukan ketika saya bicara dengan orang lebih sepuh. Baik di lingkungan saya sendiri, maupun di luar. Kejadian ini tak hanya terjadi di luar Pontianak, namun sampai keluar daerah. Dalam tugas sehari-hari di lapangan, kerap saya berjumpa dengan orang Madura. Katakan saja itu pebisnis, politisi, atau pejabalah.
Saya tak segan bicara dengan bahasa ibu ketika bertemu dengan mereka. Ketika demikian, kadang lawan bicara saya bertanya. Kok bisa bahasa halus. Enteng saja saya jawab, bahwa lingkungan saya masih kental dengan bahasa tersebut. Bahkan dari mereka kadang masih bertanya mungkin saya pernah mondok ke Madura.
Oh tidak sama sekali. Saya hanya belajar di surau dekat rumah.
Sobat semua. Khususnya anak-anak generasi muda Madura. Saat ini memang kita dihadapkan pada persoalan bagaimana tetap melestarikan bahasa itu. Khususnya yang di luar Madura. Seperti di Pontianak. Untuk lingkungan kota bahasa halus sangat jarang digunakan, kecuali mereka yang pernah dari pondok Jawa, Madura, atau mereka memang belajar di pendidikan yang dikelola orang Madura. Atau dalam lingkungan keluarga tetap membudayakan bahasa halus “Parbesan”.
Parbesan untuk di Pontianak memang sudah turun darastik pelestariannya. Tapi di pedalaman Kalbar seperti Kubu Raya, Ketapang, Mempawah masih banyak yang menggunakan bahasa halus ini.
Nah uniknya lagi. Pengalaman perjalanan saya ketika ke luar Kalbar, saat saya di Jakarta saya bertemu dengan orang Madura juga, kalau tidak salah di daerah Rawamangun. Kebetulan saya membeli sesuatu di warungnya. Secara tak sengaja saya mendengar percakapan antara penjual itu dengan anaknya. Ia menggunakan bahasa Madura. Tanpa segan saya langsung ngomong menggunanakan bahasa Madura.
Ia bertanya pada saya. “Derih dimmah be’nah lek, macem anyar ekantoh” (Dari mana kamu dik, seperti baru di sini). “Derih Pontianak buk” (dari Pontianak Buk). Jawab saya.
Ia mulai heran pada saya. Dan bertanya kok bisa bahasa Madura. Dengan rinci saya jelaskan bahwa di Pontianak, Kalimantan Barat banyak sekali orang Madura. Sampai titik daerah yang banyak orang Maduranya saya jelaskan pada ibu tersebut.
Ubay KPI dan Dr. Yusriadi, MA. Dosen sekaligus redaktur yang mengajarkanku
ilmu jurnalistik pertama kali. Dia tak hanya dosen, namun juga orang tua sekaligus kawan
bagi saya. I Love Yusriadi Ebong
Mungkin ia mengira Madura hanya ada di Jawa dan Sampit. Padahal di Kalimantan Barat sangat berjibun. Bahkan, orang Madura di Kalbar pernah menjabat sebagai Bupati. Yakni di Kabupaten Sanggau. Dan saat ini Wakil Walikota Pontianak, Paryadi merupakan asli keturunan Madura. Saat ini juga, ada orang Madura di Kalbar yang ikut mencalonkan jadi Wakil Walikota lagi, di Kota Singkawang, yakni H. Mutholib.
Di Pontianak, yang namanya Siantan bahkan dikenal sangat padat dengan orang Madura.
Cukup sekian celotehan saya pagi menjelang sahur ini. Mator sekelangkong taretan.

Di Ruang Tamu Rumah
Kamis, 26 Juli 2012. 03.25 menjelang sahur.

No comments:

Post a Comment